Wabah Corona berdampak kepada sendi-sendi kehidupan manusia, tidak hanya pada masalah kesehatan, Corona juga berdampak pada masalah ekonomi. Di Indonesia ada sekitar 2,8 juta pekerja yang terkena PHK, para pedagang harian, para pelaku bisnis dan hampir semua usaha terdampak oleh wabah Corona.
Banyak yang panik hingga stress, banyak yang kaget kemapanan hidupnya terganggu, banyak terpaksa melakukan tindakan kriminal dan lain sebagainya.
Sempitnya ekonomi di satu sisi memang musibah, aka tetapi itu akan menjadi puncak musibah jika hidup kita berorientasi kepada dunia. Hal yang berbeda ketika orientasi hidup kita adalah akhirat. Karena masalah ekonomi hanyalah musibah yang menimpa dunia kta, sedangkan kita masih punya akhirat sebagai tempat kembali. Marilah kita tingkatkan keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah swt yaitu dengan cara melaksanakan setiap perintah-Nya dan meninggalkan semua yang dilarang-Nya.
Kita harus menyadari bahwa setiap kita akan menerima ujian hidup. Dalam Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 155 Allah swt berfirman yang artinya : “ Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah buahan. Dan berikan kabar gembira kepada orang orang yang sabar
Ketika Allah menimpakan ujian kepada seorang hamba Nya bukan berarti Allah tidak sayang kepada hamba Nya namun justru sebaliknya dengan ditimpakan musibah itulah Allah bermaksud mengangkat derajat iman dan ketakwaan kita. Allah bermaksud menyelamatkan kita dari siksa api neraka, terlebih Allah bermaksud memberi hidayah kepada hamba yang dipilih Nya. Dan yakinlah dengan firman Allah :
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”
Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (QS. Ath Tholaq: 7)
Untuk itu kita harus bersabar dalam menghadapi situasi sulit akibat pandemi virus covid 19 ini. Mari kita do’akan saudara kita yang sedang terinfeksi agar segera diberikan kesembuhan, para medis yang bertugas diberikan kekuatan, korban yang meninggal dunia diberikan tempat yang terbaik di sisi Allah swt. Semoga penyakit corona ini segera diangkat oleh Allah swt dari permukaan dunia
Demikianlah khutbah yang dapat kami sampaikan semoga bermanfaat.
وَالْعَصْرِ ﴿١﴾ إِنَّ الإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ ﴿2﴾ إِلاَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْر
Suatu kali, Anas bin Malik mendatangi Nabi Muhamad SAW. Ia mendapati beliau SAW sedang berbaring di atas alas tipis di atas tanah padang pasir yang panas membara. Di bawah kepala beliau SAW terdapat bantal kecil dari kulit binatang ternak yang diisi serabut kurma kering. Selembar kain tipis menjadi alas untuk tubuh beliau di atas kasur. Tidak mengherankan jika di leher dan di sebagian tubuh beliau terdapat bekas-bekas tindihan serabut, batu kerikil dan pasir.
Sesaat kemudian, masuklah Umar bin Khatthab menemui Nabi SAW dan mendapati beliau masih dalam kondisi berbaring di atas kasur tipis yang langsung menghampar di tanah. Pemandangan seperti itu langsung membuat Umar tidak bisa menahan tangis sedihnya. Nabi SAW kemudian bertanya, “Apa yang membuat engkau menangis wahai Umar?”
Umar bin Khattab menjawab, “Demi Allah, bagaimana diriku tidak menangis wahai Rasulullah, sementara aku mengetahui bahwa engkau adalah manusia yang lebih mulia di sisi Allah dari pada Kisra Persia dan Kaisar Romawi. Mereka berdua hidup dengan segala kenikmatannya di dunia ini. Sementara engkau – wahai Rosululloh- berada di tempat ini seperti yang aku lihat?!”
Sejurus kemudian, Nabi SAW bersabda, “Tidakkah engkau rela wahai Umar, jika bagi mereka dunia ini dan bagi kita akhirat? Umar menjawab: “Tentu saja aku rela wahai Rasulullah.”
Dalam kesempatan dan kondisi yang tepat, Rasulullah SAW mengajarkan kepada Umar bin Khattab dan seluruh umatnya tentang kemuliaan hidup. Kemuliaan hidup yang didasarkan atas taqwa dan cinta kepada Allah ta’ala. Sebuah nasehat yang mengajarkan kepada umat ini tentang bagaimana seorang hamba memandang dunia dan akhirat. Karena kemulian seorang hamba terletak saat dirinya mendahulukan akhirat dari pada dunianya. Begitu pula dengan kehinaan seorang hamba terjadi tatkala dirinya menjadi budak dunia serta lalai akhiratnya. Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam menekankan poin penting dalam masalah hidup di dunia ini yaitu bersikap zuhud.
Inilah tarbiyah Rasulullah SAW kepada para sahabatnya. Sehingga kita dapati bahwa para Sahabat Rasulullah SAW adalah orang-orang yang bertahan di dalam Islam dalam setiap krisis. Kita bisa saksikan ketika Rasululla SAW dan para sahabatnya diembargo oleh orang-orang Quraisy selama 2 tahun, mereka survive tanpa ada satupun di antara mereka yang murtad dan kembali ke pangkuan kesyirikan karena kemiskinan.
Bahkan mereka menjadi orang-orang yang dengan mudah dan gampang mengeluarkan hartanya di jalan Allah, seperti Utsman, Abdurrahman bin Auf, Umar bin Khotob dan Abu Bakar Ash-Shiddiq yang menginfakkan harta-harta mereka di kala kondisi paceklik melanda. Sedangkan mereka yang tidak memiliki kelebihan uang untuk diinfakkan justru merasa sedih karena kehilangan kesempatan beramal sholeh.
Seorang zahid memandang dunia sebagai suatu hal yang kecil semata. Baginya dunia adalah sarana untuk menuju akhirat. Maka, ketika dia dihadapkan suatu hal yang bertujuan akhirat dengan mengorbankan dunia, dia tidak akan berpikir dua kali untuk itu. Justru hal itu ia lakukan dengan sepenuh hati untuk mendapatkan keutamaan di akhirat.
Banyak para ulama menulis pembahasan khusus tentang zuhud dalam karya-karya mereka. Pembahasan ini terpisah dari kajian-kajian akhlak lainnya. Misalnya Abdullah bin Mubarak menulis kitab Az-Zuhdu wa Ar-Raqaiq. Al-Mu’affiy Al-Mushuliy menulis kitab Az-Zuhdu. Demikian juga para imam lainnya seperti Imam Waki’, Asad bin Musa, Ahmad bin Hambal, Hanad As-Sirri, Abu Dawud, Abu Hatim dan Imam Ibnu Abi Dunya. Ini membuktikan bahwa sikap zuhud adalah sikap yang mulia dan dari sini lahir jiwa-jiwa patriot yang rela berkorban demi keridhaan-Nya.
Jamaah Jumat Rahimakumullah
Imam Ahmad pernah ditanya tentang bagaimana zuhudnya orang yang memiliki harta, beliaupun menjawab: “Jika dirinya tidak terlalu bergembira dengan tambahnya harta dan tidak terlalu bersedih ketika berkurang”. Dalam kesempatan lain beliau menjelaskan zuhud dengan pendeknya angan-angan. Karena pendeknya angan membuat jiwa ingin sekali bertemu Allah dan tidak ingin tinggal lama di dunia. Sementara panjang angan membuat jiwa cinta dunia dan tidak ingin bertemu dengan Allah ta’ala.
Sejenak mari kita berhenti, merenungkan kembali angan-angan kita, apakah selama ini kita terlalu panjang angan-angan duniawinya sehingga ketika kondisi krisis melanda kita merasa terpuruk sekali, dan diperpara tanpa adanya pegangan akhirat, membuat diri kita semakin kelimpungan.
Sejenak kita merenung, apakah selama ini kita terlalu sibuk menyiapkan bekal duniawi, memperbagus rumah, menaikkan level hidup, mempergagah tunggangan, namun kita lupa untuk memperbagus amalan kita.
Oleh karena itu, mari kita putar haluan, kita jadikan akhirat sebagai prioritas dan dunia sebagai saran untuk mempersipakan sebaik-baik bekal di akhirat.
Salah satu tips orang-orang zuhud dahulu tetap bertahan meski dengan sedikitnya rizki adalah keyakinan mereka bahwa selama mereka hidup maka Allah SWT senantiasa menjamin rizki mereka. Allah menjamin rizki setiap manusia dengan caranya, dengan kadar yang telah ditentukannya dan terkadang tidak sesuai dengan keinginan duniawi kita.
Selain mampu meyakinkan diri bahwa semua perkara dunia adalah fana dan hina serta berpaling darinya, untuk mencapai derajat zuhud ada syarat-syarat yang harus kita penuhi.
Abu Zakariya Yahya bin Muadz Ar-Razi, salah satu ulama ahlu sunnah wal jamaah yang hidup pada abad ke-3 H menyebutkan ada tiga syarat zuhud. Tokoh yang disebut sebagai seorang juru nasihat oleh Imam Adz-Dzahabi ini mengatakan, “Seseorang tidak akan mencapai hakikat zuhud sampai dalam dirinya terdapat tiga hal:
- Beramal tanpa terikat tujuan duniawi
- Berucap tanpa berharap apapun (selain pahala dari Allah)
- Mencari kemuliaan (Untuk akhirat), bukan untuk jabatan dunia.
Jamaah Jumat Rahimakumullah
Hasan Al-Basri menambahkan syarat zuhud, hendaklah kita percaya dan sepenuhnya kepada balasan Allah. Sehingga tidak pernah terbetik dalam hati untuk berharap kepada selain Allah.
Maka dapat dipastikan bahwa ketika seseorang sudah mencapai derajat zuhud ia tidak lagi mengharap apapun dari manusia, harapannya hanya ia gantungkan pada Dzat yang Maha Kuasa, Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sebagaimana kehidupan para nabi dalam berdakwah. Ketika mereka diberi iming-iming harta duniawi agar meninggalkan dakwahnya, jawaban mereka sama, yaitu:
إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلا شُكُورًا
“Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (Al-Insan: 9)
Demikianlah khutbah yang dapat kami sampaikan semoga bermanfaat.
وَالْعَصْرِ ﴿١﴾ إِنَّ الإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ ﴿2﴾ إِلاَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْر